Minggu, 16 Maret 2014

Ketika Harus Memulai

Seminggu yang lalu, entah sebabnya apa. Tiba-tiba aku dan teman sekamarku diem-dieman. Hari-hari yang biasanya dipenuhi dengan gelak tawa dan saling manja, seminggu itu semuanya serba berubah. Setiap kali kami bertemu suasananya berubah menjadi sangat dingin. Aku merasa bukan menjadi diriku yang sebenarnya, pun dengan dia. Dia menjadi orang yang sama sekali tidak ku kenal. Seminggu berjalan, aku merasa sangat jenuh di kosan dengan kondisi yang serba aneh. Ku putuskan untuk pulang kampung selama tiga hari. Aku pulang begitu saja tanpa pamit dengan temanku, meskipun saat itu dia ada di hadapanku. Ingin sekali ku tatap matanya dan berpamitan, tetapi lidahku menjadi sangat kelu untuk mengatakannya. Tiga hari di rumah, ku ceritakan semua yang ku rasakan kepada ibuku. Mendengar ceritaku, ibu memintaku untuk memulai menegur temanku lebih dulu, tidak peduli siapa yang lebih dulu melakukan kesalahan. Beliau meminta setelah aku selesai melakukan pengambilan data agar langsung pulang ke kosan dan memperbaiki semua keadaan. Jika setelah ku coba lebih dulu menegur temanku, temanku tetap diam, maka kesalahan bukan lagi terletak padaku. Selesai mengambil data, tepat pada hari Sabtu aku memutuskan untuk pulang dan berharap sesampainya di kosan aku bisa langsung bertemu dengan temanku. Pada kenyataannya, setelah aku sampai di kosan ternyata teman sebelah kamarku mengatakan bahwa temanku baru dua jam yang lalu pulang ke kampungnya. Hampa sekali rasanya melihat kamar ini. Merasa jenuh, ku penuhi hari itu dengan mempersiapkan acara workshop yang akan diadakan pada hari minggu. Aku menginap di kosan temanku yang ada di BTN. Minggu sore setelah selesai workshop aku pulang ke kosan. Aku melihat motor temanku parkir di depan pintu kosan. Aku tahu, pasti dia sudah datang. Di depan pintu gerbang hatiku tiba-tiba berdesir, haruskah aku menyapanya lebih dulu atau aku akan membiarkan serba ketidak-enakan ini tetap terjadi? Tidak! Jika aku terus bersikap diam seperti ini, perasaanku justru akan semakin tersiksa. Ku putuskan untuk mengikuti saran dari ibuku. Ku buka pintu gerbang kosanku, berlagak seperti tidak pernah terjadi masalah apa pun di antara kami, aku menegurnya yang saat itu sedang menyetrika baju dengan sangat keras. Aku terlihat sangat penuh basa-basi. Terserah. Suasana malam itu mulai hangat dari sebelumnya. Dia dengan kecanggungannya mulai berani menegurku. Dalam hati ku ucapkan alhamdulillah. Sesaat berselang, tiba-tiba dia berdiri di depan pintu kamarku dengan wajah sedikit tertunduk canggung dan berkata, "Mbak, kemarin tuh kita diem-dieman karena apa ya?", "Loh, aku juga ga tau. Aku kira kamu marah sama aku", "Aku tuh ga marah sama kamu Mbak. Aku kira kamu marah sama aku Mbak.", "Aku juga punya pikiran yang sama kayak kamu, aku kira kamu marah sama aku, habisnya kamu diem aja.". "Aku diem karena Mbak diem aja.", "Berarti pikiran kita sama ya?", "Mbak, maafin aku ya kalau aku punya salah sama kamu." "Iya, aku juga minta maaf sama kamu kalau aku punya salah." (jabat tangan) dan suasana menjadi sangat menggelikan. Persis seperti anak kecil yang bisa marahan tanpa tahu apa sebabnya. Hanya sebuah kesalahpahaman.