Dia adalah sesosok wanita yang cukup keras
kepala. Sejak kecil hidupnya sudah terbiasa dengan hal-hal pahit. Pengalaman
pahit yang ia rasakan pun tidak sedikit. Dia dibesarkan dari keluarga sederhana
yang penuh dengan ujian. Sejak kecil ia sudah sering diajak dagang oleh ibunya.
Ibunya bukanalah orang yang kaya atau memiliki sebuah toko besar seperti
kebanyakan orang, melainkan hanya pedagang sayuran dan kebutuhan pokok. Semasa
kecil, Intan, sapaan akrabnya sudah terbiasa bangun pagi dan membantu ibunya
berjualan soto. Saat itu, soto adalah makanan favorit warga sekitar tempat
Intan tinggal. Sebenarnya, ibu Intan bukanlah orang yang pandai memasak, namun
karena saat beliau berusia sembilan belas tahun sudah diambil oleh budenya ke
Lampung jadi bakat memasak budenya pun diturunkan kepadanya. Awal ibu Intan
datang ke Lampung adalah untuk melanjutkan sekolah, tapi ternyata setelah
sampai di Lampung ibunya Intan lebih sering disuruh membantu menjemur padi,
menggiling mie untuk dijual ke pasar, dan yang lebih membuat ibunya Intan tidak
dapat menyisihkan waktunya untuk belajar adalah budenya mengangkat seorang bayi
laki-laki sebagai anaknya. Nah, mulai saat itulah beliau diperlakukan seperti
pembantu. Setiap hari ibunya Intan harus bangun pagi untuk memandikan keponakannya,
menyiapkan sarapan buat keponakan, pakde dan juga budenya. Setelah selesai
sarapan, ibunya Intan pergi ke pasar membawa dua tampah mie dengan menaiki
sepeda kebo yang saat itu masih langka dan dianggap sebagai kendaraan yang
paling familiar. Sesampainya di pasar, ibunya Intan lengsung menjajakan mie
buatannya. Biasanya hanya sampai pukul 11.00 WIB saja semua mie sudah habis
diserbu para pelanggan. Maklum, bude beliau termasuk pedagang kawakan. Hampir
semua pengunjung pasar pernah mencicipi mie buatannya. Selain enak, mie buatan
bude beliau terkenal sebagai mie yang terbuat dari racikan bumbu tradisional
dan tanpa pengawet buatan. Sepulang dari pasar, ibunya Intan tak bisa seenaknya
beristirahat. Dia harus menjalankan tugas berikutnya yaitu mengambil padi di
sawah yang habis dipanen. Diwadahinya padi tersebut ke dalam karung, kemudian
ditaruhya di atas sepeda bagian belakang dan diikat dengan tali karet yang
terbuat dari ban dalam sepeda yang digunting dengan lebar 3-4 cm. Sampai di rumah,
beliau menurunkan padi tersebut dari sepedanya, menyeretnya ke sebuah hamparan
teras yang sengaja dibuat untuk menjemur padi dan kemudian membuka ikatan
karung tersebut. Diratakannya padi tersebut dengan kedua kakinya, hal tersebut
bertujuan agar semua padinya dapat segera kering. Selesai menjemur padi beliau
memomong keponakannya yang bernama Farhan karena bude dan pakdenya pergi ke
sawah. Menjelang sore, saat matahari akan kembali ke tempat peristirahatannya,
ibunya Intan harus sudah membungkus padi dengan terpal dan kemudian
memasukkannya ke gudang penyimpanan padi. Lalu, beliau memandikan Farhan dan
menyuapinya makan sore. Selesai menyuapi Farhan, beliau langsung mandi dan
beristirahat. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya untuk berdiam
di dalam kamar. Bukan untuk tidur, melainkan meratapi nasibnya sambil
memandangi susunan genteng yang warna orangenya mulai memudar dan hampir
berubah menjadi putih di langit-langit kamarnya. Dengan tatanan genteng itu ia
mempertanyakan nasibnya. Dulu, saat ia hidup bersama ayah dan neneknya di
Klaten, hidupnya tidak terlalu banyak tekanan seperti sekarang. Sejak berumur
sembilan tahun ibunya meninggal. Saat itu, ibunya diperkirakan terkena serangan
jantung karena sebelum beliau meninggal, siang harinya masih pergi ke sawah
bersama rekan-rekannya. Tiba-tiba, sehabis mandi dan sholat ashar, beliau
memanggil Ima, nama asli ibunya Intan. Beliau mengerang kesakitan sambil
memegang dadanya. Ima pun panik, dia akhirnya memutuskan untuk memanggil seorang
mantri yang rumahnya lumayan jauh dari rumah Ima. Tetapi sesampainya Ima di
rumah, ia harus menyaksikan ibunya sudah terbujur kaku di ruang tengah
beralaskan sebuah tikar dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh kain. Sejurus
kemudian, warga mulai berdatangan ke rumah Ima. Silih berganti mereka masuk ke
ruang tengah, membuka kain penutup wajah ibunya dan kemudian duduk di samping
Ima. Menatap Ima dalam-dalam dan kemudian memeluknya erat. Sepeningglan ibunya,
Ima diasuh oleh neneknya. Setiap hari ia berjualan kue basah dengan sepeda kebo
kesayangannya hingga ia berusia sembilan tahun.
Semakin ia teringat akan masa lalunya, semakin
hatinya tersayat. Sesekali ia memejamkan mata dan berusaha melupakan kata
hatinya yang terus menjerit. Tetapi, lagi-lagi nuraninya tidak bisa diajak
kompromi. Satu per satu pertanyaan dari nuraninya muncul ke pikiran sadarnya.
Dalam hati ia bertanya, mengapa dulu dia mau diambil oleh budenya? Mengapa dulu
ia tidak memilih tinggal bersama ayah dan neneknya dan tetap bersekolah di
Klaten? Mengapa tega sekali budenya memperlakukan ia seperti sekarang ini? Bukankah
dulu beliau berjanji akan menyekolahkan Ima setelah sampai di Lampung? Mengapa?
Mengapa? Mengapa?!
Ima benar-benar tidak dapat menguasai dirinya
untuk tidak berteriak. Sekonyong-konyong ia menangis sejadi-jadinya dengan
menutupi seluruh kepalanya dengan bantal. Ia takut suara tangisnya terdengar
oleh bude dan pakdenya di luar. Ia benar-benar ingin pulang ke Klaten dan hidup
bersama ayah dan neneknya, ia ingin sekolah di sana. Ia ingin menjalani
kehidupan yang normal di sana. Kadang karena letihnya mendengar pertanyaan yang
bersumber dari nuraninya sekaligus lelah yang bertumpuk karena seharian tidak
berhenti kerja membuatnya kelabasan tidur setelah menangis. Begitulah kisah
kelamnya. Bertahun-tahun ia menunggu ayahnya menjemputnya, ia benar-benar ingin
pulang ke Klaten. Hingga pada suatu hari, ayahnya datang berkunjung ke Lampung,
datang ke rumah budenya. Maksud kedatangan ayahnya adalah untuk memastikan
kondisi anaknya. Harapan beliau anaknya saat ini sudah duduk di bangku kelas
dua SMP, mengenyam pendidikan yang layak, dan kelak akan menjadi penerus
impiannya yang saat itu ingin sekolah, namun tidak terwujud karena terkendala
biaya. Tapi apalah daya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ya. anaknya
memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dari dirinya. Ayah Ima menangis tersedu
menyaksikan bahwa anak perempuan yang diharapkan dapat mewujudkan cita-citanya
untuk bisa bersekolah tinggi kini hanya menjadi harapan kosong. Beliau
benar-benar muntab dengan kelakuan kakak kandungnya yang tega memberinya janji
palsu. Seandainya sejak dulu ia tahu bahwa kakaknya akan memperlakukan Ima
seperti itu, sudah pasti tidak akan diperbolehkan Ima ikut dengan kakaknya.
Merasa tidak terima, ayah Ima pun memutuskan untuk mengajak Ima kembali ke
Klaten dan sekolah di sana. Tetapi, apalah daya, anaknya tersebut sudah
diibaratkan kacang yang kepalang gosong. Ima sudah tidak mau melanjutkan
sekolah, pikirannya sudah terlalu kacau jika harus memikirkan pelajaran, ia
hanya ingin pulang dan hidup bersama dengan ayah dan neneknya. Sesampainya di
Klaten, Ima memulai kehidupan baru yang dulu pernah ia tinggalkan.
Hari kedua di Klaten ia habiskan untuk
mengelilingi sawah yang juga merupakan kaki gunung Merbabu. Ia berjalan di
pinggir sawah, sungguh ia merasakan jiwanya kembali utuh. Menikmati sejuknya
udara Klaten, hijaunya hamparan sawah yang terbentang luas, dan dinginnya
aliran air yang bening di parit dekat dengan sawah ayahnya. Ia masukkan kedua
kakinya ke dalam parit yang berisi air yang sangat dingin tersebut. Ia biarkan
ikan-ikan kecil mematuki kakinya, dan ups! Sandalnya terbawa arus! Ia berlari
kencang di pinggir parit yang lumayan licin karena tanahnya kuning dan sedikit
becek. Ia berusaha meraih sandalnya yang bergerak semakin menjauh karena
terbawa oleh arus yang kencang. Setelah hampir seratus meter berlari, akhirnya
sendal kesayangannya pun terhenti karena tersangkut di sebuah kaki jembatan
yang terbuat dari rangkaian bambu yang dianyam. Dia berusaha meraih-raih sandal
tersebut dengan tangan kanannya tetapi tidak bisa. Ia mengambil dengan kayu pun
tetap saja tidak bisa hingga Ima pun tercemplung ke dalam parit tersebut. Rok
dan celananya basah kuyup. Ia tidak menyesal karena tercebur ke parit, tetapi
justru malah sebaliknya, ia menenggelamkan tiga per empat tubuhnya ke dalam
parit hingga yang terlihat hanya kepalanya saja. Dingin dan sangat segar.
Kemudian ia berdiri dan sedikit teringat akan penderitaan selama tinggal
bersama budenya. Dalam hatinya berkata, “Akhirnya semua penderitaan itu
berakhir juga.” Tak terasa air matanya mengalir deras mengingat kondisinya
kini. Ima yang dulu memiliki cita-cita ingin menjadi guru kini harus
menguburkan dalam-dalam impiannya tersebut. Cita-cita yang harus dikubur dalam
hanya karena janji palsu yang diberikan oleh budenya. Jika selama di Lampung ia
tak pernah sekalipun mengekspresikan isi hatinya yang penuh dengan tekanan dan
penderitaan, maka kali ini ia tak ingin menahannya lagi. Ia kemudian berdiri di
tengah parit, membiarkan kakinya disapu oleh aliran air yang dingin, ia
kumpulkan segala kekesalan yang menderanya selama ini lalu ia berteriak
sekuat-kuatnya. Ia berteriak hingga air matanya keluar, dan kini, Ima menangis
sekencang-kencangnya. Ia memukuli dirinya dengan penuh kekesalan.
Itulah sepenggal kisah ibu Intan yang
diceritakan oleh ibu Intan saat Intan menginjak masa remaja awal.