Sabtu, 21 September 2013

Lembut nan Tangguh (calon cerpen hampir jadi)


Dia adalah sesosok wanita yang cukup keras kepala. Sejak kecil hidupnya sudah terbiasa dengan hal-hal pahit. Pengalaman pahit yang ia rasakan pun tidak sedikit. Dia dibesarkan dari keluarga sederhana yang penuh dengan ujian. Sejak kecil ia sudah sering diajak dagang oleh ibunya. Ibunya bukanalah orang yang kaya atau memiliki sebuah toko besar seperti kebanyakan orang, melainkan hanya pedagang sayuran dan kebutuhan pokok. Semasa kecil, Intan, sapaan akrabnya sudah terbiasa bangun pagi dan membantu ibunya berjualan soto. Saat itu, soto adalah makanan favorit warga sekitar tempat Intan tinggal. Sebenarnya, ibu Intan bukanlah orang yang pandai memasak, namun karena saat beliau berusia sembilan belas tahun sudah diambil oleh budenya ke Lampung jadi bakat memasak budenya pun diturunkan kepadanya. Awal ibu Intan datang ke Lampung adalah untuk melanjutkan sekolah, tapi ternyata setelah sampai di Lampung ibunya Intan lebih sering disuruh membantu menjemur padi, menggiling mie untuk dijual ke pasar, dan yang lebih membuat ibunya Intan tidak dapat menyisihkan waktunya untuk belajar adalah budenya mengangkat seorang bayi laki-laki sebagai anaknya. Nah, mulai saat itulah beliau diperlakukan seperti pembantu. Setiap hari ibunya Intan harus bangun pagi untuk memandikan keponakannya, menyiapkan sarapan buat keponakan, pakde dan juga budenya. Setelah selesai sarapan, ibunya Intan pergi ke pasar membawa dua tampah mie dengan menaiki sepeda kebo yang saat itu masih langka dan dianggap sebagai kendaraan yang paling familiar. Sesampainya di pasar, ibunya Intan lengsung menjajakan mie buatannya. Biasanya hanya sampai pukul 11.00 WIB saja semua mie sudah habis diserbu para pelanggan. Maklum, bude beliau termasuk pedagang kawakan. Hampir semua pengunjung pasar pernah mencicipi mie buatannya. Selain enak, mie buatan bude beliau terkenal sebagai mie yang terbuat dari racikan bumbu tradisional dan tanpa pengawet buatan. Sepulang dari pasar, ibunya Intan tak bisa seenaknya beristirahat. Dia harus menjalankan tugas berikutnya yaitu mengambil padi di sawah yang habis dipanen. Diwadahinya padi tersebut ke dalam karung, kemudian ditaruhya di atas sepeda bagian belakang dan diikat dengan tali karet yang terbuat dari ban dalam sepeda yang digunting dengan lebar 3-4 cm. Sampai di rumah, beliau menurunkan padi tersebut dari sepedanya, menyeretnya ke sebuah hamparan teras yang sengaja dibuat untuk menjemur padi dan kemudian membuka ikatan karung tersebut. Diratakannya padi tersebut dengan kedua kakinya, hal tersebut bertujuan agar semua padinya dapat segera kering. Selesai menjemur padi beliau memomong keponakannya yang bernama Farhan karena bude dan pakdenya pergi ke sawah. Menjelang sore, saat matahari akan kembali ke tempat peristirahatannya, ibunya Intan harus sudah membungkus padi dengan terpal dan kemudian memasukkannya ke gudang penyimpanan padi. Lalu, beliau memandikan Farhan dan menyuapinya makan sore. Selesai menyuapi Farhan, beliau langsung mandi dan beristirahat. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya untuk berdiam di dalam kamar. Bukan untuk tidur, melainkan meratapi nasibnya sambil memandangi susunan genteng yang warna orangenya mulai memudar dan hampir berubah menjadi putih di langit-langit kamarnya. Dengan tatanan genteng itu ia mempertanyakan nasibnya. Dulu, saat ia hidup bersama ayah dan neneknya di Klaten, hidupnya tidak terlalu banyak tekanan seperti sekarang. Sejak berumur sembilan tahun ibunya meninggal. Saat itu, ibunya diperkirakan terkena serangan jantung karena sebelum beliau meninggal, siang harinya masih pergi ke sawah bersama rekan-rekannya. Tiba-tiba, sehabis mandi dan sholat ashar, beliau memanggil Ima, nama asli ibunya Intan. Beliau mengerang kesakitan sambil memegang dadanya. Ima pun panik, dia akhirnya memutuskan untuk memanggil seorang mantri yang rumahnya lumayan jauh dari rumah Ima. Tetapi sesampainya Ima di rumah, ia harus menyaksikan ibunya sudah terbujur kaku di ruang tengah beralaskan sebuah tikar dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh kain. Sejurus kemudian, warga mulai berdatangan ke rumah Ima. Silih berganti mereka masuk ke ruang tengah, membuka kain penutup wajah ibunya dan kemudian duduk di samping Ima. Menatap Ima dalam-dalam dan kemudian memeluknya erat. Sepeningglan ibunya, Ima diasuh oleh neneknya. Setiap hari ia berjualan kue basah dengan sepeda kebo kesayangannya hingga ia berusia sembilan tahun.
Semakin ia teringat akan masa lalunya, semakin hatinya tersayat. Sesekali ia memejamkan mata dan berusaha melupakan kata hatinya yang terus menjerit. Tetapi, lagi-lagi nuraninya tidak bisa diajak kompromi. Satu per satu pertanyaan dari nuraninya muncul ke pikiran sadarnya. Dalam hati ia bertanya, mengapa dulu dia mau diambil oleh budenya? Mengapa dulu ia tidak memilih tinggal bersama ayah dan neneknya dan tetap bersekolah di Klaten? Mengapa tega sekali budenya memperlakukan ia seperti sekarang ini? Bukankah dulu beliau berjanji akan menyekolahkan Ima setelah sampai di Lampung? Mengapa? Mengapa? Mengapa?!
Ima benar-benar tidak dapat menguasai dirinya untuk tidak berteriak. Sekonyong-konyong ia menangis sejadi-jadinya dengan menutupi seluruh kepalanya dengan bantal. Ia takut suara tangisnya terdengar oleh bude dan pakdenya di luar. Ia benar-benar ingin pulang ke Klaten dan hidup bersama ayah dan neneknya, ia ingin sekolah di sana. Ia ingin menjalani kehidupan yang normal di sana. Kadang karena letihnya mendengar pertanyaan yang bersumber dari nuraninya sekaligus lelah yang bertumpuk karena seharian tidak berhenti kerja membuatnya kelabasan tidur setelah menangis. Begitulah kisah kelamnya. Bertahun-tahun ia menunggu ayahnya menjemputnya, ia benar-benar ingin pulang ke Klaten. Hingga pada suatu hari, ayahnya datang berkunjung ke Lampung, datang ke rumah budenya. Maksud kedatangan ayahnya adalah untuk memastikan kondisi anaknya. Harapan beliau anaknya saat ini sudah duduk di bangku kelas dua SMP, mengenyam pendidikan yang layak, dan kelak akan menjadi penerus impiannya yang saat itu ingin sekolah, namun tidak terwujud karena terkendala biaya. Tapi apalah daya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ya. anaknya memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dari dirinya. Ayah Ima menangis tersedu menyaksikan bahwa anak perempuan yang diharapkan dapat mewujudkan cita-citanya untuk bisa bersekolah tinggi kini hanya menjadi harapan kosong. Beliau benar-benar muntab dengan kelakuan kakak kandungnya yang tega memberinya janji palsu. Seandainya sejak dulu ia tahu bahwa kakaknya akan memperlakukan Ima seperti itu, sudah pasti tidak akan diperbolehkan Ima ikut dengan kakaknya. Merasa tidak terima, ayah Ima pun memutuskan untuk mengajak Ima kembali ke Klaten dan sekolah di sana. Tetapi, apalah daya, anaknya tersebut sudah diibaratkan kacang yang kepalang gosong. Ima sudah tidak mau melanjutkan sekolah, pikirannya sudah terlalu kacau jika harus memikirkan pelajaran, ia hanya ingin pulang dan hidup bersama dengan ayah dan neneknya. Sesampainya di Klaten, Ima memulai kehidupan baru yang dulu pernah ia tinggalkan.
Hari kedua di Klaten ia habiskan untuk mengelilingi sawah yang juga merupakan kaki gunung Merbabu. Ia berjalan di pinggir sawah, sungguh ia merasakan jiwanya kembali utuh. Menikmati sejuknya udara Klaten, hijaunya hamparan sawah yang terbentang luas, dan dinginnya aliran air yang bening di parit dekat dengan sawah ayahnya. Ia masukkan kedua kakinya ke dalam parit yang berisi air yang sangat dingin tersebut. Ia biarkan ikan-ikan kecil mematuki kakinya, dan ups! Sandalnya terbawa arus! Ia berlari kencang di pinggir parit yang lumayan licin karena tanahnya kuning dan sedikit becek. Ia berusaha meraih sandalnya yang bergerak semakin menjauh karena terbawa oleh arus yang kencang. Setelah hampir seratus meter berlari, akhirnya sendal kesayangannya pun terhenti karena tersangkut di sebuah kaki jembatan yang terbuat dari rangkaian bambu yang dianyam. Dia berusaha meraih-raih sandal tersebut dengan tangan kanannya tetapi tidak bisa. Ia mengambil dengan kayu pun tetap saja tidak bisa hingga Ima pun tercemplung ke dalam parit tersebut. Rok dan celananya basah kuyup. Ia tidak menyesal karena tercebur ke parit, tetapi justru malah sebaliknya, ia menenggelamkan tiga per empat tubuhnya ke dalam parit hingga yang terlihat hanya kepalanya saja. Dingin dan sangat segar. Kemudian ia berdiri dan sedikit teringat akan penderitaan selama tinggal bersama budenya. Dalam hatinya berkata, “Akhirnya semua penderitaan itu berakhir juga.” Tak terasa air matanya mengalir deras mengingat kondisinya kini. Ima yang dulu memiliki cita-cita ingin menjadi guru kini harus menguburkan dalam-dalam impiannya tersebut. Cita-cita yang harus dikubur dalam hanya karena janji palsu yang diberikan oleh budenya. Jika selama di Lampung ia tak pernah sekalipun mengekspresikan isi hatinya yang penuh dengan tekanan dan penderitaan, maka kali ini ia tak ingin menahannya lagi. Ia kemudian berdiri di tengah parit, membiarkan kakinya disapu oleh aliran air yang dingin, ia kumpulkan segala kekesalan yang menderanya selama ini lalu ia berteriak sekuat-kuatnya. Ia berteriak hingga air matanya keluar, dan kini, Ima menangis sekencang-kencangnya. Ia memukuli dirinya dengan penuh kekesalan.
Itulah sepenggal kisah ibu Intan yang diceritakan oleh ibu Intan saat Intan menginjak masa remaja awal.